Gunung Merbabu Dan Kisah Langkah Pulang Hingga Gugurnya Pendaki


Salah satu dari banyaknya motivasi melakukan pendakian gunung adalah untuk dapat menyaksikan Sunrise. Duduk menghadap ke timur menikmati pertunjukan surya yang menyambut kedatangan sisi Bumi yang lain untuk ia terangi. Duduk menunggunya akan lebih nikmat dengan secangkir teh serta menyematkan earbud dikedua telinga, dengan playlist favorit. Begitulah caraku sering menikmati kehidupan dikala surya perlahan muncul di ujung cakrawala.

Maka nikmat Allah mana lagi yang engkau dustakan.

Baca juga Pilihan Penuh Tanjakan Menggapai Gunung Merbabu

Sebelum benar benar terlelap pasrah kepada alam, berkompromi dengan perut menjadi wajib untuk dilakukan, agar memberikan daya tahan semalaman. Lebih dari setengah malam berlalu untuk memastikan malam ini kami bisa beristirahat dengan nyenyak dan sampai akhirnya tertidur, tenggelam dalam menikmati tegangnya otot-otot badan. Malam itu terasa tidak terlalu dingin, dengan memakai jaket dan menyelinap kedalam kantong tidur, sudah cukup hangat untuk aku melayang hilang dari sadar.

Sebelum lanjut saat aku bangun, aku ingin mengingatkan!
Buat kamu yang sering menggigil kedinginan (tidak tahan dengan udara dingin) sebaiknya jangan melakukan pendakian bila kamu tidak mempersiapkan perlengkapan yang dapat mengantisipasi kondisi ekstrim, terlebih untuk pendakian lebih dari 3000 MDPL. Bagaimana mengenali diri sendiri tidak tahan dengan udara dingin?
Sebenarnya hal yang wajar bila kita tidak tahan dengan udara dingin, namun pernah tidak kamu merasakan kedinginan yang luar biasa walaupun sudah memakai baju dingin, sementara teman kamu atau orang lain tampak biasa saja dengan pakaian yang biasa? Kalau jawabannya iya, artinya kamu memang tipe yang tidak tahan dengan udara dingin.

Untuk mengantisipasi kondisi tersebut kamu perlu mempersiapkan layering pakaian saat pendakian antara lain :
Base Layer
Base layer adalah lapisan pertama yang berfungsi tidak hanya untuk menyerap keringat tetapi juga agar keringat menguap kelapisan lainnya.
Mid Layer
Mid layer adalah lapisan kedua yang digunakan setelah base layer. Berfungsi untuk menjaga suhu tubuh tetap hangat dengan cara menjebak udara disekitar tubuh.
Out Layer
Outer layer adalah lapisan ketiga dan terluar yang digunakan setelah mid layer. Fungsi utamanya untuk melidungi tubuh terkena langsung elemen-elemen dari luar seperti angin dan air.


Jadi kamu kamu harus sudah punya dari ketiga layering tersebut, jangan hanya mengikuti teman yang berbeda kondisinya dengan kamu, untuk mengetahui lebih jelas tentang layering tersebut dan perlengkapan lainnya yang perlu kamu persiapkan kamu dapat lihat selengkapnya di tips khusus tetap hangat saat mendaki gunung.

Siapa yang tidak ingin menyaksikan Sunrise dari kaki-kaki langit? Keinginan menyaksikan Sunrise di paginya memang bagian dari motivasi pendakian,  justru itu saat malamnya perlu mempersiapkannya, setidaknya untuk mempersiapkan diri agar siap bangun pagi-pagi buta dan melakukan summit. Namun malam sebelum kami terlelap tidak ada persiapan sama sekali, bahkan untuk memperbincangkannya luput dari sadar, lantaran lelah yang patuh pada gaya gravitasi.

Ditengah larut dalam lelap dan gelap, sendi tulangku mulai merasakan sakit serasa tertusuk dari ujung kaki, memaksa ku untuk bangun dari tidur. Sama gelapnya saat terakhir ku tinggal tidur, kucoba mengintip keluar lewat pintu rumah portable, seketika membuka sedikit saja angin berebutan menyerang ku untuk masuk kedalam tenda. Tampak sunyi sepi bergegas ku tutup kembali, ku cek jam tangan untuk memastikan waktu saat itu, setelah menimbang memutuskan sendiri bahwa waktu subuh telah masuk, aku mencoba bertayamum, dan Ibadah Subuh itu berjalan dengan apa adanya, memilih untuk tetap dalam tenda, membuat aku melaksanakannya sambil duduk dan mengigil, dan aku hanya bisa pasrah dan memohon untuk ibadah yang kuragukan itu dapat diterima oleh pemilik semesta.

Tidak ada tanda-tanda dan harapan untuk melakukan pendakian ke puncak Merbabu, tidak ada tampak tanda teman sependakian atau pendaki lainnya yang akan berangkat subuh itu, tentu aku yang tiada tau jalurnya, tiada nyali untuk berangkat sendirian. Kuputuskan untuk kembali menyelinap ke dalam kantung tidur. Dingin tetap kurasakan menusuk, terasa tiada tertahan aku yang sadar tidak kuat dengan kondisi dingin sudahlah ada perlengkapan untuk mengantisipasi kondisi kedinginan. Kembali keluar dari kantung tidur kucari dengan terburu buru termal bivvy semacam alumunium foil yang telah dirancang berbentuk kantung untuk mengantisipasi kondisi suhu dingin, agar terhindar dari hipotermia.

Saat bangun sunrise terlewatkan namun tetap saja ada yang patut untuk dikagumi
 Kedinginan perlahan mulai berkurang. Thermal tersebut mulai berfungsi mengurung panas suhu tubuh, juga telah dilapisi dengan sleeping bag. Kehangatan yang menjadi normal kembali mengantarkan ku kembali terlelap sampai waktu di saat tiada lagi yang namanya Sunrise, langit langit tenda ku lihat sudah tampak warnanya, lantaran telah sampai cahaya kepermukaannya. Segera ku buka pintu rumah kecil untuk bergegas keluar, tanah masih tampak basah tapi langit sudah terang, tiada lagi cahaya jingga kemerahan. Ku lirik jam tangan, ternyata sudah lewat pukul delapan. Ku perhatikan di sekeliling ada yang sedang bernyanyi diiringi petikan gitar, terlihat juga beberapa pendaki yang beres-beres sampai menyiapkan sarapan pagi itu.

Beberapa dari kami sudah ada yang bangun, salah satunya sudah ada yang sedang menyiapkan air panas. Sempat kesal dengan diri sendiri yang melewatkan matahari terbit, seketika teralihkan oleh perut yang memberi kode butuh diisi, saat itu juga kami menyiapkan sarapan praktis untuk mengisi tenaga, sebab walaupun tidak sempat mengejar Sunrise ke puncak, kami tetap akan kepuncak.

Pengobat penat dan lelah
 Bagi ku salah satu kesalahan terbesar dalam hidup setiap manusia adalah ; tidak menikmati kehidupannya yang sedang dia jalani saat itu juga. Karena itu pula tetap ku nikmati teh hangat dengan sarapan umum orang Eropa dengan cita rasa Asia, seraya menikmati apa yang bisa di pandang sejauh mata dapat memandang. Tentu pemandangan khas dari Gunung Merbabu ini menjadi pemandangan yang indah, dari sini kita dapat melihat Gunung Merapi. Sesaat Merapi dapat dilihat sepenuhnya, sesaat lainnya disamarkan oleh awan sampai hanya tampak puncaknya saja hingga sepenuhnya tertutup.

Ini pertama kalinya aku merasa terlihat seperti ayah ku saat muda
Hingga segala urusan di pagi hari beres, kami mulai berjalan tanpa membawa beban di punggung, dari mulai berjalan berdekatan bersama, setiap bertambahnya langkah menuju puncak, maka bertambah pula jarak diantara kami, sampai ada yang memilih tidak ingin memaksakan untuk meneruskan sampai puncak. Yang jalan perlahan tetap melangkahkan kakinya, yang sudah kerjanya berlari juga mengasa kemampuannya. Selama perjalanan ke puncak Gunung Merbabu, selama itu pula perjalanan beratapkan langit. Cuaca cukup berubah-ubah. Kadang terik, kadang berkabut, sesekali diselingi gerimis. Terus melaju tanpa menghiraukan cuaca akhirnya sampailah kami dipuncak Trianggulasi (3.142 mdpl)

Jalan setapak kepuncak yang diselimuti kabut
 Tidak lupa bersyukur, namun tidak terlalu bahagia, lantaran saat itu kabut cukup membatasi jarak pandang yang tak kunjung hilang, ya kami hanya menikmati perasaan senang bisa sampai kepuncak, tanpa melupakan mendokumentasikannya. Cuaca yang terus berubah sama ketika perjalanan kepuncak, membuat kami memutuskan untuk kembali ketenda, kecuali Mamet, yang ingin ke puncak lainnya dari Gunung merbabu. Mamet mulai meluncur dengan berlari memanfaatkan situasi untuk sekalian latihan. Kami pun berbalik arah menuju tenda.

Alih-alih berjalan santai kembali menuju tenda, tidak selang beberapa lama kami tiba, Mamet datang menyusul. “Met jadi ke puncak ……?” “jadi!” seru mamet. Dalam hati ku “untung saja aku gak ikut, bisa ditinggal jalan nanti”.

Udah gak ingat penyebab kenapa semua mendadak mata jadi minimalis
Kami pun makan siang dengan super instant tanpa melupakan makanan pokok nasi. Makan siang selesai semua langsung bersegera untuk packing, untuk menentukan kenyamanan turun kembali ke pos 1, packing tetap harus diperhatikan dan prosesnya tentu cukup memakan waktu, terlebih saat itu kami lagi-lagi direpotkan dengan gerimis, dan situasi ini membuat beban semakin bertambah, belum lagi sampah yang ikut basah untuk dibawa turun.

Setelah turun nanti, kami akan terus lanjut meluncur ke Jogjakarta. Tujuan itu menjadikan semangatku menggebu-gebu untuk berusaha secepatnya bisa tiba di basecamp. Sekitar pukul 14.00 kami sudah mulai menuruni merbabu, curamnya jalanan sama dengan terjalnya tanjakan, namun kali ini terasa lebih berbahaya, akibat  dari cuaca yang terus hujan menyebabkan jalanan licin, tidak jarang Mamet yang sudah banyak menaklukkan medan terjatuh, terlebih lagi aku.

Walaupun begitu kami tetap terus menurun, mengurangi waktu untuk beristirahat, melihat yang lainnya terus berjalan aku juga berusaha mengikuti, sampai pada situasi yang sangat tidak kuinginkan, bukan lantaran jatuh, tapi perlahan kakiku mulai nyeri, lututku mulai sakit saat ditekuk, pilihannya kalau tidak ditekuk, ya menghindari untuk meluruskannya. Kondisi seperti itu sudah bisa dikegorikan cedera. Cedera tersebut membuat tempo langkahku semakin lambat, tidak jarang pula aku harus berhenti dibuatnya, sehingga aku tertinggal jauh dengan yang lain.

Sekujur badanku benar-benar bersakitan semua pada saat itu, jalan yang lambat membuat waktu memikul beban menjadi lama, waktu tempuh perjalanan semakin panjang, saat hari sudah gelap aku masih saja dalam perjalanan, dan itu masih dalam hutan, teman yang lain juga tidak lagi pernah terlihat keril di punggungnya. Berjalan sendiri dalam gelap tidak pernah membuat ku takut dengan makhluk apapun meski bila terlihat sesuatu tetap terkejut, yang membuatku canggung adalah langkah yang tidak tepat, takut langkahku berpijak pada bagian yang licin atau permukaan yang tidak kuat, terlebih saat itu headlamp kondisinya “hidup segan mati tak mau” tak ada fungsinya.

Saat berjalan dalam kegelapan, tidak jarang pula ada beberapa orang  yang melewatiku, selalu ku beri jalan untuk mendahuluiku, mengingat jalanku yang sangat lambat. Pernah suatu ketika aku cukup terkejut dengan pandanganku, seketika darahku mendesir diseluruh tubuh, mungkin semua orang pernah merasakan yang aku maksud, walaupun setelah keperhatikan dengan teliti yang ku lihat hanyalah objek tumpukan tumbuhan yang tidak jelas yang bentuknya dipengaruhi cahaya malam. Memang dalam kondisi tertentu itu harus dimaklumi, tidak jarang saat kondisi tubuh yang tidak baik siapa saja akan berpeluang melihat yang aneh-aneh.

Menyadari kondisi tersebut terjadi pada diriku, aku mulai bersiasat saat mengetahui dari belakangku ada tiga pendaki aku tidak memberi jalan mereka untuk mendahului dan mengajak ngobrol sambil berjalan, saat ngobrol aku sempatkan sesekali melihat kebelakang, yang mencuri perhatianku saat itu dan tersenyum aku melihat mereka membawa lampu darurat yang cukup besar, yang biasanya di gunakan orang untuk kondisi darurat di rumah. Tentu saja saat itu sekeliling kami terang benderang. Asik ngobrol, perjalanan kami akhirnya sudah keluar dari pintu rimba, jalanan yang sudah dibeton menambah nyeri kaki ku, walaupun jalanan cukup lebar tiga orang pendaki tadi tidak mencoba mendahuluiku, dan kami sama-sama tiba di basecamp, walaupun tidak sempat berkenalan nama, obrolan saat dijalan sangat membantu mengurangi rasa sakit kakiku saat itu, dan sampai saat ini aku sangat berterimakasih.

Tiba di basecamp sekitar puku 20.30, enggan aku untuk duduk beristirahat, melihat bersihnya kawan-kawan ku yang lain sudah bersih dan segar, segera aku berbenah membersihkan diri, setelah segar kupastikan packing barang sudah selesai, fasilitas basecamp yang menyediakan kantin kami manfaatkan untuk mengisi perut sehingga memiliki tenaga kembali. Saat santai di basecamp mengumpulkan tenaga, ada perbincangan yang membuat aku cukup terkejut di basecamp saat itu, bagaimana tidak seisi basecamp sedang membicarakan kejadian meninggalnya seorang pendaki perempuan akibat hiportemia dini hari tadi. Informasi posisi korban bermalam masih simpang siur pada saat itu, yang jelas bukan di wilayah kami bermalam. Aku langsung teringat saat aku terbangun kedinginan tadi malam, sehingga aku harus menggunakan termal bivvy, lagi-lagi bersyukur dapat selamat dari kejamnya dingin.

Belum hilang dari pikiran tentang apa yang terjadi, sekitar pukul 23.00 kami segera memenuhi rencana selanjutnya untuk meluncur ke Jogja, lengkapnya disebut Jogjakarta dengan waktu tempuh satu sampai dua jam. Kota Daerah Istimewa, dengan kesultanannya. Dan saat itu adalah pertama kali aku datang ke Jogjajakarta.

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hallo saya menykai jalan-jalan,seni,desain grafis,fotografi,profesi tetap saya sendiri sebagai entrepreneur.

0 komentar:

Posting Komentar