30 JAM 26 MENIT PERTAMA KALINYA DI JOGJAKARTA


Kami meluncur dari basecamp Gunung Merbabu menuju Jogjakarta, ada yang berbeda yang kami rasakan di dalam mobil, rasanya tidak seperti saat awal berangkat dari Jakarta ke Swanting. Kali ini rasanya cukup mencekam disebabkan otot-otot yang kejang dan harus menerima keadaan yang berhimpitan, walaupun demikian obatnya dapat kami temukan, rasa itu dapat diobati oleh falsafah leluhur kami “jiko sampik, hati nan balapang-lapang” (jika sempit, hatilah yang dilapangkan). Dalam hati yang berlapang-lapang tadi pikiranku kembali teringat dengan meninggalnya seorang pendaki akibat Hiportemia dini hari kemarin, yang membuat aku kembali teringat berhubungan dengan kondisi  yang aku alami dini hari saat itu, begitu dinginnya yang kurasakan hingga badanku perih terasa tertusuk sekujur tubuh, syukurnya aku memiliki perlengkapan emergency, kalau tidak matilah aku kedinginan tanpa pelukan.

Hempasan yang cukup keras akibat jalan yang berlobang mengembalikan pikiran ku bersama yang lainnya, ternyata pemegang kemudi tidak begitu mengetahui rute menuju Jogja, sehingga kami melaju dengan kecepatan yang tidak terlalu cepat. Sempat merasa berada pada jalanan yang cukup aneh kami pun mencoba mencari tempat untuk bertanya, cukup sulit saat itu sebab waktu menunjukkan pukul 00.45 WIB. Harapan untuk bertanya mulai ada saat kami melihat di depan kami ada orang yang sedang mengendarai sepeda motor yang tampak sedang membawa sayuran. Pemegang kendali mobil berusaha untuk mengambil posisi beriringgan untuk dapat menanyakan apakah kami sudah berada jalan yang tepat. Setelah mendapatkan informasi yang meyakinkan bahwa jalannya sudah tepat, kami mulai melaju dengan menambah kecepatan.

Ada rasa deg-degan yang aku rasakan, terlebih setelah terbaca olehku gapura batas daerah selamat datang, setelah beberapa km dari petunjuk arah menuju Jogjo saat itu. Rasa deg-degan itu cukup bertahan sehingga menyuruhku mulai memandang kekiri dan melongoh ke kanan, penasaran dengan Jogja cukup tinggi bagi ku, bagaimana tidak, begitu sering membaca, mendengar dan melihat jogja dari media, namun belum pernah datang berkunjung langsung, terlebih disebabkan pula kedua orang tua dan adik-adik ku sudah pernah pergi di waktu yang berbeda, sementara aku belum pernah sekalipun.

Mobil yang kami tumpangi mulai melambat, saat itu aku sadar bahwa kami sudah tiba di Yogjakarta, ku pastikan dengan melihat hingga merasakan udara kota Jogja saat itu. Apa yang aku lihat saat kami mengitari kota Jogja, perlahan membuat aku tersenyum sendiri. Bukan hanya sekedar senang akhirnya berada di Jogja, namun senyu ku adalah tanda decak kagum melihat suasana kota Jogja yang dipenuhi orang-orang yang mencoba menikmati kehidupan, tampak suasana santai dan hangat, walaupun saat itu sudah pukul 01.34 WIB. Aku terus melirik kesana kemari memperhatikan setiap sudut yang kami lewati untuk mencari lokasi memarkirkan mobil. Khawatir malah muter jauh, kami memilih untuk tidak harus parkir di dekat tempat rencana kami akan makan. Setelah mobil parkir dengan baik aku dan yang lain turun, setelah jalan beberapa meter dapat dengan jelas ku baca di gapura yang berada diseberang jalan tertulis Kantor Walikota.

Berjalan menyusuri jalan ramai saat dini hari kembali dihampiri decak kagum melihat ramainya orang yang santai menikmati makanan yang disajikan dari tempat makan yang tidak permanen dengan lesehan di pinggir jalan, bagi ku ini adalah suasana yang unik. Mungkin hanya dapat ditemukan di Jogjakarta ini. Kepala ku yang bergerak kesana kemari akhirnya terhenti setelah mendengar seruan mamet “disini aja ya makannya?”


Aku dan yang lain ikut saja arahan, setelah menunggu beberapa saat memastikan mendapatkan tempat untuk kami semua, satu persatu mulai memesan makanan dan minuman. Saat mamet mulai menyebutkan minuman yang dipesannya aku sempat terperangah, “Teh talua satu mbak!” seru slamet.
Aku keheranan dengan seribu bahasa, Teh Talua..? di Jogja..?
Sudahlah ujarku dalam hati, akupun memutuskan memesan minuman yang sama, akhirnya semua pesanan kami sama semua. Makan dengan hikmat terasa nikmat. Makan selesai teh talua menyusul dinikmati sambil maota (ngobrol). Sambil ngobrol aku mencoba memastikan nasibku hingga besok, ku coba menghubungi seseorang, setelah menimbang-nimbang menelpon atau mengirim pesan, akhirnya pesan singkat “Bang aku sudah di Jogja” terkirim. Saat masih menunggu balasan Mamet yang telah mengetahui renacaku untuk berpisah di Jogja dengan rombongan menanyakan:
     “Ang di antaan di ma Kris?” (kamu diantar ke mana kris)
      “Alun tau lai Met, alun di baleh Senior den lai” (belum tau lagi, belum dibalas senior ku) tegas ku.
     “telpon lah nyo!” seru Mamet.
Sesaat hendak menelpon, balasan pesan masuk, “Abang kira gak jadi, udah mau tidur aja ini bawaannya”
Saat membaca aku sadar bahasa ini datang dari orang yang benar, sebab senior yang satu ini memang selalu seperti itu.
Agar kepastian lebih jelas, aku langsung menelpon.
     “Bang za, abang di mana?”
Dia menyebutkan nama penginapan.
     “apa nama jalannya bg?”
      “gini aja, biar abang share lewat WhatsApp”
      “Oke bg” seketika telpon terputus.
Selang beberapa saat WhatsApp darinya masuk ku perhatikan baik-baik, jelas lokasinya berada di Jln. Veteran, kemudian menyusul panduan darinya,
“bila tidak ketemu penginapannya, berhenti di De Mata Trick Eye Museum.”
“Seep”, balas singkat ku.

Saat itu juga obrolan mulai berkurang, gestur yang lainnya sudah mulai mempresentasikan kondisi aslinya. Saat itu juga kujelaskan posisi kemana aku harus diantarkan. Tanpa mengecek dahulu kami langsung mengangkat pantat dari posisi uenaknya untuk kembali berhimpitan di dalam mobil, tapi kali ini mereka harus bersabar, karna setelah aku memisahkan diri akan ada sedikit tambahan ruang di dalam mobil. Waktu sudah menunjukkan pukul 03.44 mobil melaju dengan santai, kami mulai jauh meninggalkan keramaian, masuk ke jalanan yang sepi. Saat Maps yang sudah dalam navigasi sejak tadi ku cek kembali kami baru saja melewati Jln. Veteran, segera ku arahkan pemegang kemudi untuk berbalik arah, tak lupa untuk mengingatkan untuk mengurangi kecepatan agar dapat memperhatikan penginapan yang ku tuju, walaupun sudah perlahan melakukannya Jln. Veteran kembali terlewati, penginapan tidak kunjung kutemukan. Ku telpon kembali senior ku tadi, memastikan tempatnya, setelah berbagi posisi untuk saling memastikan sedang berada di posisi berdekatan kami tidak kunjung mengetahui, sebab kami berdua juga bukan orang yang tau nama lokasi untuk dijelaskan. Aku pun sudah mulai terasa tidak enakan dengan teman yang lain, dan aku memutuskan untuk meminta menepi, agar aku turun disini saja. Saat baru turun ku telpon kembali untuk memastikan bahwa aku berada di posisi yang cukup dekat, sempat saat itu merasa saling menemukan sosok yang berada di tepi jalan, namun ternyata yang kulihat bukan orang yang ku cari, sementara senior ku mengatakan dia melihat ku dari kejauhan. Hal itu membuat ku celingak-celinguk kesana kemari, sampai mencoba berjalan ketengah jalanan yang sepi untuk dapat melihat dengan jelas ke arah sisi tepi jalan yang sama. Samar samar aku dapat melihat, sosok postur tubuh yang sangat ku kenal itu sedang melambai-lambai. Untuk tidak memakan waktu lama, ku berikan kode memastikan aku disini saja. Teman teman yang lain ikut turun sambil meregangkan badan dan menurunkan barang-barang ku saat itu, dan ku salami mereka semua dengan menyusulkan kata terimakasih, ditambah eratan salam perjuangan.

Mobil Sejuta umat itu melaju meninggalkan aku dan bayanganku yang diciptakan oleh cahaya lampu jalan. Seketika aku tampak lemas melihat batang yang semula hanya keril dan daypack kini bertambah dengan kontong pelastik yang tampak cukup besar untuk ditenteng, ditambah senior tadi tampak berhenti dari langkahnya semula yang mencoba mendekat. Dengan separuh oyong dan sisa tenaga ku gendong keril, dan daypack, ku tenteng kantong pelastik dan mulai berjalan. Beban semakin terasa berat dibumbui otot yang terasa tegang, rasa saat baru olahraga setelah tidak lagi dalam waktu yang lama. Ku dekati sosok yang menunggu di ujung jalan sana, setiap langkah masih saja berharap aku disusul untuk dapat ku bagi beban hidup ini, eh, beban barang-barang ku, namun tetap saja harapan itu hanya berkata-kata di dalam hati, hanya aku yang mengetahui. Semakin dekat semakin dengan sosok tadi semakin ada yang aneh yang tampak olehku, ada yang berbeda dengan siluet bagian kepalanya, siluet itu tidak seperti orang yang kukenal, hanya postur tubuh dan benda persegi panjang yang dia pegang dengan gaya biasanya yang ku kenal. Sempat dia sedikit bergerak ke arah yang dapat disinari cahaya, saat itulah aku yakin aku tidak salah orang, ternyata dia memakai blangkon di kepalanya sehingga siluet yang tampak jadi berbeda.

Kami berdua melanjutkan langkah menyusuri jalan yang sepi, sempat singgah di warung yang masih buka untuk membeli kebutuhan seperlunya. Sambil berjalan aku mempertanyaan jarak penginapannya, mebujuk dengan keterangan sudah dekat, aku coba memperhatikan sekitar untuk sekedar mengingat, saat itu aku juga mencoba menunjukan sikap seorang yang tampak kerepotan dengan bawaan, sikap yang ku transfer tersebut cukup kuat untuk langsung diterima oleh penerima yang ku tuju, akhirnya dia meminta untuk membawakan daypack ku. Sampai di depan penginapan ku sempatkan melirik sekitar untuk mengingat-ingat gambaran letak penginapannya sekaligus merekam tampak depan penginapat tersebut. Saat masuk tampak suasana penginapan cukup tua, resepsionis tidak bekerja 24 jam, namun tetap ada pegawai yang bertugas. Kami berdua langsung menuju kamar, sempat melewati  bagian terbuka dari penginapan tampak pekarangan yang di kelilingi kamar-kamar, dan masih ada pengunjung yang yang masih mengobrol berpasangan, seperti serasa dirumah sendiri, saat itu aku sempat ditegur agar tidak terlalu menyoroti yang tampak, sebagai pendatang dan yang mengatakan seorang senior sikap turut arahan tidak dapat ditawar lagi.

Ruangan kamar tampak berukuran 5x4 meter dengan kamar mandi didalam yang sederhana. Ranjang besi dengan kasur kapuk, cukup mempresentasikan harga sewanya dengan posisi yang mudah dijangkau. Setelah sedikit berbenah aku mengambil posisi untuk meluruskan tulang punggung yang seakan sudah tidak lagi terangkai sebagaimana mestinya.

Setidaknya sampai esok pagi nasib ku aman, itu yang sempat bergeming di hatiku. Mengenai untuk dapat istirahat sulit dipastikan. Belum lagi sempat menguap, untuk melepaskan aura letihku, pillow talk sudah dimulai, dengan ragam pertanyaan apa saja yang sudah terjadi selama tidak bertemu, cerita tentang apa yang telah lalu sebagai perbincangan romantisme tetap menjadi bumbu untuk memperluas perbincangan. Terlebih bercerita tentang kondisi organisasi HMI baik dalam Komisariat kami dan tingkat Cabang Kota Medan, yang masih dapat dihitung beberapa bulan kami sudahi dan kami tinggalkan, bila diingat-ingat kembali rasa pilu itu ada, namun banyak pula yang sering kami tertawakan terhadap semua yang telah terjadi, pengalaman mengantarkan senior ini menjadi Ketua Cabang, hingga mengawal sampai selesai, periodesasi, memang lucu bagi ku bila setiap kali diingat, belum cukup setengah periodesasi saja aku dan beberapa teman yang lain saat itu sudah harus bertarung dengan para koboi-koboi pemegang palu tak bertuan. Tapi bila dipikir-pikir lagi sebenarnya koboi-koboi itulah yang sebenarnya memiliki tuannya, dan justru kami bagai sekelompok ronin, atau orang-orang suku indian yang tersisa dengan komitmen pada diri sendiri, pertarungan yang menguras energi, memaksa pikiran harus membagi banyak ruang yang menuntun semua dapat diselesaikan, hingga waktunya habis para koboi didesak tuannya yang hendak turun kegelanggang yang berada di Pekanbaru.

Cerita tentang organisasi ini mengantarkan kami dalam percakapan tentang keinginan tidak menyibukkan diri lagi dengan susana yang mengharuskan bergelut lagi kedepannya, mencoba mengambil posisi yang lebih dapat memberi stimulus kemajuan saja. Tanpa sengaja kami sepemikiran dan muncul kesepakatan untuk itu. Rencana-rencana yang telah disusun untuk masa didepan saling kami utarakan. Beberapa hal untuk dimasa akan datang kami mungkin dapat bertemu dari jalan yang berbeda, hal itu bagiku sebagai sesuatu yang sangat aku harapkan. Ingin angan dari perbincangan mengatar kami ketitik lelah dengan cepat. Aku mulai tidak merasakan tubuhku sendiri, perlahan rasa hanya berpusat di benak, hingga akhirnya melayang tak tau kemana.

Kali Ini Ibadah Subuh terlewatkan, rasa kecewa yang hadir teralihkan dengan dada yang terasa panas, segera ku raih botol berisi air mineral seharga Rp. 6500 yang populer disebut dengan mereknya. Kudengar setiap tegukanku sendiri setelah terasa puas kupandangi sisanya yang tinggal seperempat. Bergegas mandi agar tidak membuat waktu terbatas ku berkurang, aku ikut dengan senior ke terminal bersama teman-temannya yang lain untuk kembali ke daerah kerja masing-masing saat itu kami menggunakan Trans Jogja untuk sampai keterminal. Terasa seperti keluar dari rumah biasa saat itu, sepatu ku kotor oleh lumpur, dan cukup lembab, sehingga aku keluar menggunakan sandal.


Sesampainya di terminal rombongan menyempatkan dengan sarapan. Kami memilih salah satu warteg yang ada di terminal, saat masih melihat-lihat apa yang tersaji dilayar kaca, ada bisikan yang membuat ku mengangguk, “kalau disini atau di manapun tanya dulu harganya sebelum mesan kris, nanti bisa meledak harganya waktu makanan sudah masuk perut” sebelum menyentuh dengan ujung jari aku pastikan harga yang ingin ku pesan. Sarapan yang tidak terlalu santai saat itu masih dapat diisi dengan perbincangan ringan hingga sarapan selesai. Rombongan mulai berpisah mencari Bus jurusan masing-masing, tinggallah kami berdua hingga bus yang dicari dipastikan keberangkatannya. Setelah tanda-tanda bus akan berangkat aku langsung pamit untuk balik kepenginapan, saat kembali kunikmati apa yang ku lihat setiap incinya, prilaku orang-orang disekitar, pendengaranku terasa berfungsi dengan baik, mendengar setiap suara yang ada disekitar ku.

Setibanya di penginapan, sempat ku bawa kembali berbaring tubuhku, keinginan untuk pindah ke penginapan yang lebih baik lagi sempat terfikir, proses menimbang-nimbang di dalam pikiranku pun mulai bekerja, badan ku saat itu ingin sekali untuk dapat berbaring sepanjang hari untuk melepas sisa lelah dari pendakian, namun disisi lain juga untuk mencari dan pindah penginapan yang lain, badan tidak ingin kompromi untuk kembali mengangkut keril dan daypack lagi, selain itu juga waktu juga akan habis berlalu hanya untuk pindah, sementara waktu ku cuma ada hari ini untuk sekedar jalan-jalan di Jogja. Aku kembali bangkit dari berbaring, ku perhatikan sekelilingku yang cukup berantakan, terlebih melihat sepatu yang masih berlumpur. Saat itu juga keputusan tidak akan ada pindah-pindahan, disini sudah lebih dari cukup semalam cuma Rp. 100.000, kalau pindah bisa saja biaya bertambah lagi, perjalanan ku masih panjang, jadi berhemat harus menjadi sesuatu yang diutamakan.


Keputusan untuk jalan ke Candi Prambanan ku ambil. Aku bereskan semua kerilku dan mengatur barang yang akan sering di gunakan serta pakaian untuk berangkat ke Kediri esok hari. Menyelesaikan semua membuat hati tenang, cuma tinggal satu hal yang mengganjal, sepatu andalan masih berlumuran lumpur yang hampir membeku. Membayangkan membersihkannya rasanya ribet, namun gak ada pilihan lain selain membersihkannya, memakai sendal untuk berjalan-jalan bagi ku hanyalah memancing risiko untuk datang, mengundang masalah baru untuk muncul, sepatu itu ku beli untuk menjaga dan membuat ku nyaman dari perjalanan ku kemana pun. Sepatu ku ini berbahan kulit, sehingga tidak terlalu susah untuk membersihkannya, apa lagi untuk mengeringkannya. Bagian dalamnya saja yang menjadi kekhawatiran ku, saat mendaki kemarin hujan membuat bagian pergelangan sepatu basah dan ikut terkena lumpur, bagaimana pun harus dibersihkan, sementara sepatu kulit tidak dianjurkan untuk dijemur dibawah matahari langsung, kalau hanya berharap diangin-anginkan butuh waktu semalam untuk kering, akhirnya aku melanggar aturan perawatan sepatu kulit, saat menjemurnya aku posisikan bagian dalam yang terbuka untuk menangkap cahaya matahari langsung, setiap lima menit aku cek ubah posisi sepatu, begitu seterusnya agak lebih cepat kering dan merata, sudah seperti memanggang ikan saja.

Pukul 13.00 WIB aku mulai berangkat ke Candi Prambanan menggunakan Bus Jogjakarta dari halte yang tidak jauh dari penginapan, untuk sampai ke Prambanan harus membeli tiket bus terlebih dahulu yang dijual langsung oleh petugas halte, harga tiket bus Rp. 3.600, dari halte jalan Veteran waktu jarak tempuh sekitar 30 menit saja, namun saat itu aku berfikir halte bus Trans Jogja prambanan berada tepat di dekat Candi Prambanan, ternyata tidak, aku harus naik angkutan lain untuk sampai di Prambanan.


Apabil teman-teman tragel datang dari arah Jakarta ke Yogyakarta atau dari daerah lainnya berikut tips untuk anda yang tertarik mencoba bertandang ke Candi Prambanan, tersebut kami berikan langkah menuju ke Candi Prambanan dengan memakai kendaraan umum :

Bandara Adisucipto
Dari Bandara Adisucipto naik bis TransJogja 1A arah Prambanan turun di Candi Prambanan.

Stasiun Tugu
Dari luar Stasiun Tugu naik bis TransJogja 1A turun di Candi Prambanan.

Stasiun Lempuyangan
Dari Stasiun Lempuyangan naik KA Sriwedari jurusan Solo turun di Stasiun Maguwo (Bandara).
Dari sana naik bis TransJogja 1A arah Prambanan turun di Candi Prambanan.

Terminal Giwangan
Dari Terminal Giwangan naik bis Yogya-Solo turun depan Candi Prambanan.

Terminal Jombor
Dari Terminal Jombor naik TransJogja 2B ke Terminal Cenderung Catur.
Di sana ubah naik TransJogja 3B ke Bandara Adisucipto.
Dari Bandara naik TransJogja 1A ke Candi Prambanan.

Turun dari halte aku mengecek jarak di Maps, untuk dapat menaksir ongkos ke Prambanan, karena aku memilih becak untuk sampai kesana untuk menikmati perjalanan kali ini, lagi pula aku belum pernah naik becak yang pengemudinya ngedayung dari belakang. Pertama kali menanyakan tarif yang di tawarkan sebesar Rp. 25.000, perutku langsung sakit mendengarnya aku langsung tinggal pergi, ku coba berjalan keluar wilayah halte, tidak lama saat masih berjalan, aku dihampiri bapak-bapak yang langsung meawarkan “saya antar ke Prambanan dek!” serunya…
     Berapa Pak ke prambanan?
     Biasa aja dek ayuk…!
     Tidak pak, berapa dulu? yang disana bilangnya 25000, saya gak mau…
     Rp. 20.000 aja ya?
     Rp. 15.000 aku naik sekarang..!
     Ayok naik..!

Menikmati perjalanan becak yang berjalan santai, dihampiri angin sangat menyenangkan rasanya, ku selonjorkan kakiku, meski sempat berdiskudi dengan hati, si Bapak mulai mengajak ngobrol, obrolan hanya seputar tanya jawab asal dan sudah berapa lama di Jogja, hanya sebatas itu saja obrolan kami, lantaran waktu tempuh cukup singkat untuk sampai di Candi Prambanan. Saat masuk di kawasan prambanan melihat sekitar aku sempat lupa kalau becak telah berhenti. Entah apa penyebabnya jiwa backpackerku sesaat hilang, ku periksa kantong bajuku di bagian yang tang telah aku pisahkan untuk uang pecahan besar, lalu ku berikan uang Rp. 20.000.

     Terimakasih ya Pak..! sambil berlalu
     Kembaliannya dek…
     Ambil saja pak…

Berjalan dengan antusias, membuatku berjalan lebih cepat dari biasanya, kerumunan orang, memacuku untuk segera dapat sampai di pintu masuknya, antrian yang cukup panjang sempat membuat dahi ku mengerenyit. Ikut mengantri dengan orang banyak itu tidak seperti yang ku pikirkan, ternyata lebih cepat dari dugaan ku, saat melakukan pembayaran petugas dengan cepat menjalankan tugasnya, terlebih tiket yang diberikan sudah berupa kartu, hal ini yang membuat proses setiap orang yang membeli tiket masuk dapat diselesaikan dengan cepat.

Akhirnya tibalah aku di Candi Prambanan, dimana Candi ini hanya dapat ku lihat dulunya di Atlas saat Sekolah Dasar, dulu candi ini menjadi kebanggaan Indonesia. Saat sering bermain dengan Atlas dengan teman-teman pasti akan terlihat juga Candi Prambanan ini. Dulu kalau bermain dengan atlas, kami sering bergantian memberikan tantangan untuk mencari daerah, atau apa saja yang ada di Atlas yang ditentukan, maka yang diberi tantangan harus dapat menemukannya, hingga menyerah barulah yang menyerah akan diberitahukan, dan kemudian bergantian terus sampai kami merasa bosan.

Dari pintu pengecekan tiket ke Candinya tidak terlalu dekat, sebab Candi yang begitu besar dapat dilihat keseluruhan di satu sisi. Bagian ini cukup indah untuk dipandang, dan bagus juga untuk diabadikan, hanya saja aku perlu minta tolong pada orang lain, agar semi siluet Prambanan dapat menjadi background.


Terik panas sekitar pukul 14.30 saat itu cukup terik, namun manja tidak menyengat, cahaya terang mampu melukis langit yang begitu indah, langit sangat tampak megah dan luas, memberi pesona yang indah bagi gugusan candi-candi yang berabad-abad usianya. Selain mengelilingi candi, aku juga menyempatkan untuk masuk ke beberapa candi yang memiliki ruang, namun tidak banyak yang dapat ku lihat, aku lebih tertarik melihat dan dan meraba tekstur batu dan ukiran candi-candi, warna bebatuan juga menarik bagi ku, dapat kurasakan nilai eksotis setiap garis perubahan warna dari setiap ukiran, mahal hingga tidak terhargakan. Sebagai seorang pelancong yang pertama kali kesini, mengabadikan setiap sudut prambanan adalah sesuatu yang harus dilakukan, meskipun hanya bermodalkan smartphone dari merek yang tidak terkenal, namun punya hasil jepretan yang cukup bagus.

Setiap momentnya terasa sangat berharga, namun untuk itu semua tidaklah mudah, sebab aku datang seorang diri, butuh usaha lebih untuk meminta pertolongan orang untuk mendapatkan moment tertentu, hal ini adalah salah satu tantangan bagi solo backpacker seperti ku.



Waktu kian berlalu, bila dihitung saat itu belum semua candi dapat ku saksikan dengan seksama, sementara matahari hampir selesai tergelincir, bagian komplek Prambanan lainnya kususuri bersama pelancong lainnya. Sampai pada bagian pasar, tempat pertemuan antara penjual dan pembeli, saat berkeliling sempat ragu untuk sekedar berbelanja cendramata atau apalah itu nantinya, lantaran memikirkan agar tidak banyak pengeluaran, namun setelah berkeliling untuk mencari sesuatu yang dapat dibeli, tidak satupun ada yang dapat menarik hati, pada akhirnya langkahku terhenti di bagian pelataran di mana beberapa Ibu-ibu menjajalkan makanan, warna warni bahan campuran pecel menyadarkan ku belum sempat tadinya makan siang, dan akhirnya satu porsi habis tandas, dan menjadi momen penutup.


Matahari hanya menyisakan cahanya aku bergegas keluar komplek Prambanan, ku datangi becak dan memastikan ongkosnya sama dengan sewaktu datang kesini. Tiba di halte tidak lama menunggu bus yang melewati daerah Malioboro datang, aku dan penumpang lainnya dibawa berlalu hingga tiba di Malioboro suasana ramai dan riuh menyambutku. Menyusuri jalanan malioboro di teras-teras pertokoan berjualan, hasrat membeli sesuatu kembali menyambar, dan ku tahan diri dengan niat lihat yang lain dulu, muncul lagi, ku tahan kembali sampai pada suatu lokasi banyak orang yang mengabadikan moment disana.


Aku beranjak dari teras-teras pertokoan menuju tepian jalan, ternyata disana ada sebuah rambu nama jalan yang fenomenal, sering disebut orang setiap kembali dari jogja. Untuk sekedar tanda pernah menapakkan kaki ku abadikan dengan kamera smartphone yang lemah dalam kondisi gelap, jepret… dan hasilnya jauh dari harapan. Tidak jauh dari tempat ku berdiri, tampak tempat makan disebrang jalan yang membuatku kembali lapar.

Sesi makan berjalan lancar, namun saat harus membayar aku tidak menyangka total harga Pecel Ayam + Es Teh Manis dan pajaknya harus aku bayar 62.000.000, ingin muntah rasanya mendengarnya, ingin segera cepat kembali ke penginapan dan mengeluarkan semua makanan yang barusan ku makan. Sepanjang jalan aku terus mengutuk si penjual dan diri ku, semua kesan baik ku di jogja jadi rusak, seandainya yang ku makan saat itu benar-benar enak mungkin aku tidak akan menyesal, tapi apa boleh buat semuanya sudah menyumpal perut ku, aku jadi pengen makan di restoran sederhana jadinya bila diingat-ingat.

Letih dan lelah mengalihkan geram ku, malam semakin tiba di ujungnya, aku kembali ke penginapan dengan Ojek Online tanpa tersesat. Penginapan sunyi malam itu tenang, dan kantuk menggoda ku. Besok aku harus berangkat pagi-pagi ke Stasiun Lempuyangan, menghindari terlambat ku persiapkan malam itu juga segala sesuatunya, sampai pada pakaian luar dalam  untuk besok, ku persiapkan semua seminimal mungkin, sehingga tidak perlu lagi packing besok pagi.

Belum lagi tampak matahari, aku tersentak, kokok ayam bersahut subuh itu, bagi ku ini kebiasaan ku saat pikiranku dipenuhi sebuah hajatan, rasa takut dan cemas membuat ku selalu dapat cepat terbangun, namun kali ini badan ku terasa segar, akibat efek mengkonsumsi multivitamin, untuk menjaga badan dari drop. Ku dahulukan mandi kemudian berwudhu dan Shalat Subuh. Langsung bersiap-siap, dan menyisakan sepatu dan kemeja yang belum ku kenakan, sebab sesaat itu aku tersadar bahwa waktu masih menunjukkan pukul 05.20, sementara aku menargetkan berangkat ke stasiun pukul 06.00. Aku isi jedah waktu dengan membuka google maps untuk mengestimasi waktu perjalanan ke stasiun menyiapkan pesanan ojek online, saat waktunya tiba aku langsung meluncur dan menunggu ojek. Waktu yang ku rencanakan bergeser, cukup lama menunggu ojek, sempat kewalahan menginfokan posisi jemput, driver ojek juga tidak terlalu tau wilayah jemput, situasi itu membuat aku cemas di tinggal kereta, aku lebih banyak diam saat perjalanan, sampai di stasiun aku bergegas mencetak tiket, kemudian membeli makanan untuk sarapan.

Kembali lagi aku mengalami pertama kalinya menjalani perjalanan, menggunakan kereta antar daerah di Jogja. Mulai mencetak tiket sendiri, duduk menunggu kereta sambil makan ditambah dengan dilirik banyak orang lantaran keril yang besar di punggung, dan daypack yang padat di dada. Sampai pada pukul 08.00 aku akhirnya menaiki Kereta Singasari, saat itu sempat bingung mencari gerbong kereta yang sesuai dengan tiket, aku terpaksa mencari perhatian Kondektur, berjalan pelan mendekati kondektur sambil bolak balik melihat tiket, dan kemudian sang kondektur pun menanykaan gerbongku, dan ternyata aku saat itu disuruh segera naik lewat pintu yang tepat di depanku dan arahkan untuk masuk ke gerbong didepannya. Setelah menyusun beban hidup pada tempatnya, eh beban bawaan di tempatnya, aku mulai duduk mencoba-coba posisi yang enak, dan tidak satupun yang ku temukan, dan penyebabnya adalah sandaran tempat duduknya yang terlalu tegak, dan ku putuskan untuk bersandar ke dinding sambil menatap kereta yang tampak berjalan pelan dan perlahan bertambah kecepatannya meninggalkan Jogjakarta - menuju Kediri.

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hallo saya menykai jalan-jalan,seni,desain grafis,fotografi,profesi tetap saya sendiri sebagai entrepreneur.

0 komentar:

Posting Komentar